Dreamy Backpacker: Maret 2013

17/03/13

Blind Travel 2: Jempol Membawaku Dari Padatnya Jakarta ke Eloknya Lampung Barat



“Bagiku hadiah terbesar adalah pengalaman, pandangan baru bahwa tujuan memang penting, tapi perjalanan menuju ke sana dan orang – orang yang ditemui selama perjalanan itu lebih penting, serta sahabat perjalanan yang tahan banting.”
Tim 4: Arum, Mafril, Nana ( Tim Jawa)

Sudah pukul 10.00 malam, hampir seluruh peserta sudah berada di Pintu Utara Stasiun Gambir, meeting point pertama Event Blind Travel Jilid 2 yang diadakan oleh Kaskus Backpacker Community Jabodetabek. Inti dari event ini adalah menantang para peserta untuk mencapai destinasi tertentu dengan uang yang sangat sangat terbatas, dan kemudian mengenalkan atau menceritakan kembali destinasi tersebut kepada dunia. Bagiku event ini juga membuatku lebih mengenal jati diriku sebagai pejalan, mengenal budaya lokal dan menghargai setiap kebaikan sekecil apapun itu.

Mbah Google “melawan” Kompas Bacot

Peserta dibagi menjadi 6 tim yang terdiri dari 3 orang. Mafril, aku dan Nana yang notabene adalah manusia asing satu sama lain yang disatukan dalam kelompok 4. Setelah semua tim terbentuk, panitia mengumumkan bahwa meeting point kedua adalah lapangan Seburai yang kita tidak tahu itu di mana. Panitia hanya membekali kami Rp.60.000per tim. Dengan semangat menggebu - gebu, kami mencari di mesin pencari paling canggih, google, dan saat inilah kita secara tidak sadar dikhianati habis oleh tehnologi. Hasil pencarian adalah "lapangan seburai, kota bumi, Lampung". Berbekal uang yang sangat terbatas, beranjaklah kami ke Kota Bumi. Pilihan satu-satunya untuk bisa sampai ke Lampung adalah dengan menumpang atau istilah kerennya Hitchhiking (hitching).

Tumpangan pertama dimulai dari Harmoni, kami mencegat mobil pick up yang ternyata masih baru dan cara numpangnya pun mirip masuk masjid. Copot alas kaki. Maklum mobil ini benar-benar baru, dan akan diantar ke Bengkulu. Dari Harmoni sampai Balaraja, kami dan satu kelompok lain yang bersama kami berusaha keras menyembunyikan diri kami di mobil pick up agar tidak terlihat polisi saat melewati jalan tol. Soalnya apabila polisi melihat kami, maka si sopir akan ditilang. Sesampai di Balajara, hitching berganti truk dengan sopir pak Yadi. Walaupun beliau menuju Bengkulu, beliau hanya dapat mengantar kami sampai SPBU Merak karena harus menunggu rombongannya. Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan ke Bakauheni dengan jalan kaki sepanjang 5-6 KM. Sesampainya di Merak, di atas kapal kami atur strategi dan mulai menanyai  satu per satu sopir di dek bawah. Hasil nol.

Akhirnya kami berusaha mencari tumpangan di luar pelabuhan Bakauheni dengan Mbak Nana membawa tulisan "Kota Bumi", Mafril "nebeng" dan aku menunjukkan jempolku. Di luar pelabuhan, saat kami hampir pingsan menunggu tumpangan, tiba -tiba tak disangka, sebuah truk raksasa berhenti.

"Bapak kok baik banget?", kataku
"saya pernah ngrasain kayak mbak, orang perantauan", katanya penuh senyum. “memang mau kemana?”, tanyanya
“Saburai, Kota Bumi pak.”, jawab kami kompak, semangat.
“Setahu saya Saburai itu ada di Bandar Lampung, soalnya dekat dengan rumah saya.”

Eh.

Pak Kamil bersama kelompok Jawa
Di sinilah kami baru tahu kalau kami ditipu habis-habisan oleh tehnologi. Entah aku carinya kurang benar atau mbah Google sudah mulai pikun. Kertas tulisan “Kota Bumi”, pelan-pelan kami taruh di dasar tas kami. Bikin malu saja.

Setelah itu aku dan mbak Nana bercerita bahwa saat di kapal, kami ngidam es teh tapi tidak jadi beli karena terlalu mahal. Sekotak teh dibandrol Rp. 10.000. Entah karena kasihan atau apa, pak Kamil langsung mengajak kami ke pom Bensin dan mentraktir kami es teh. Memang sederhana, tapi ini membuat kami terharu luar biasa.

Akhirnya kelompok 4 bisa sampai GOR Saburai pukul 01.00 siang hari kamis (15/10). Tanpa basa basi panitia langsung menyodori kertas undian yang berisi destinasi kami selanjutnya, yaitu Situs Batu Brak dan Batu Jagur dan kami harus sudah berada di Meeting Point ke tiga yaitu Terminal Liwa pada pukul 12.00 siang keesokan harinya. Setelah ambil nafas sebentar, dan mulai mencari di Google, walaupun sangat terbatas, terdapat info bahwa situs itu ada di Lampung Barat. Dengan bekal yang cukup besar (Rp.240.000 per tim), kami beranjak.

Bus Bandar Lampung - Krui
Belajar dari kesalahan terdahulu, kami tidak hanya mengandalkan Mbah Google tapi juga tanya pada penduduk setempat lebih tepatnya polisi. Menurut mereka cara menuju lokasi tersebut adalah naik bus jurusan Krui dari Rajabasa dengan biaya Rp.35.000 per orang. Sayangnya bus ini hanya ada pukul 08.00 malam, jadi kami istirahat di Masjid sambil menunggu keberangkatan bus.





Tinggal disholatin aja sepertinya
Sampai di Kecamatan Batu Brak hampir pukul 04.00 pagi. Sleeping bag kami gelar dan kami pun bergegas masuk ke sarang kami masing-masing. Baru mau masuk dunia mimpi, sang penjaga masjid datang. Kami pikir beliau akan marah, namun nyatanya malah dengan sangat ramah mempersilahkan kami untuk tidur di dalam masjid. Bada Subuh, setelah berbincang-bincang sejenak dengan para penduduk setempat untuk memastikan bahwa kami tidak salah lokasi dan sadar bahwa meeting point 3, terminal Liwa, hanya berjarak 10 menit dari Mesjid ini, kami pun tidur dengan nyenyak.

Batu Brak vs Batu Berak

Jam 9 kami bersiap menuju ke Situs Batu Brak. Lokasi Batu Brak ini berada di belakang rumah Bapak Maeroni, sang pemuka adat di sini. Kami cukup terkejut karena bentuk Batu Brak ini berbeda dengan yang kami lihat kemarin di mbah google. Berdasar informasi anak pak Maeroni, ternyata ada 2 Batu Brak, dan yang sedang kami lihat itu yang asli dan yang satu lagi berada di Kecamatan Sumber Jaya. Berhubung Pak Maeroni tidak ada di tempat dan rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan menyelesaikan tantangan, kami berangkat ke situs Batu Brak ke dua yang jaraknya 2 jam perjalanan dan berjanji untuk datang kembali ke lokasi pertama untuk berbincang-bincang dengan pak Maeroni. Kami sadar dengan mendatangi 2 lokasi tersebut, kami tidak akan sampai di meeting point tiga tepat waktu dan akan ditinggal rombongan, tapi niat kami sudah bulat.

Kali ini kami naik angkot sampai kecamatan Sekicau, dan nyambung naik bus. Kebetulan baru ada bus ngetem dan si sopir dengan sigapnya meyakinkan kami untuk naik dan berkata bahwa bis akan segera berangkat. Kami naik bus itu dengan langkah pasti, si sopir masih terlihat duduk di luar. Menit demi menit berlalu, kami tertidur. Setelah setengah jam lebih, aku terbangun dan melihat ke jendela. Aku syok ketika melihat si sopir masih berada di tempat yang sama. Kebetulan ada bus lain yang lewat, alhasil kami pindah bus tanpa pamit. Berarti selama setengah jam, kami numpang tidur di bus ngetem.

Penanda Jalan Menuju Situs
Tiba di batu Berak. Pak Ojek dibayar pakai receh

Full team

































Sesampainya di Simpang Tebu, Kec. Sumber Jaya, pilihan satu-satunya adalah naik ojek. Dengan bekal cerita sedih, kami bisa membujuk rayu dan hanya bayar Rp. 15.000 per orang. Lokasi Batu Brak cukup jauh masuk ke pemukiman. Ternyata walaupun pengucapannya Batu Brak tapi tertulis di plangnya adalah BATU BERAK. Kurang tau juga yang salah siapa, panitia atau pemerintah. Situs ini cukup terawat namun sayang kurang informasi dan tidak ada juru kunci.

Lanjut ke lokasi ke 2 yaitu Batu Jagur yang kata orang letaknya masih berdekatan, hanya 0.5 KM dan karena kami ingin menghemat biaya, kami memutuskan jalan kaki. Ketika kami jalan, kami papasan dengan anak-anak yang sedang asyik memasukkan tanah media tanaman ke plastik.

Diketawain bocah
“mau kemana kak?,” tanya mereka serempak.
“ke Batu Jagur. Lewat sini kan?, kata kami penuh senyum
“HAH? BATU JAGUR? JALAN KAKI?”, sahut mereka bermuka sinis. Setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak.
Waduh bau-baunya lokasinya jauh. Dan memang benar, jarak Batu Brak ke Batu Jagur ternyata lebih dari 2 KM. Terlebih lagi yang menyayat hati, sesampainya di situs ini, ternyata pagarnya digembok. Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Setelah ambil foto sebentar, kami hubungi ojek yang tadi untuk menjemput kami.




Hal yang kami pelajari dari kedua situs ini adalah keduanya merupakan  peninggalan Dinasti Tsung, sebuah kerajaan di negeri China yang berkuasa lebih kurang 2.500 tahun yang silam (zaman megalitik). Namun ada yang cukup disayangkan yaitu kurangnya informasi mengenai asal usul batu ini dan juga penyalahgunaan kedua situs ini. Pak ojek kami berkata bahwa kebanyakan pengunjung yang datang kemari biasanya adalah muda-mudi yang asyik pacaran. Yang lebih mengejutkan adalah alih fungsi situs Batu Jagur sebagai kebun kopi. Istilah It takes two to Tango benar adanya. Masyarakat dan pemerintah seharusnya bersama-sama memberi perhatian pada tempat yang bersejarah semacam situs ini.

Kembali ke perjalanan pulang kami. Setelah sampai di Simpang Gadis, karena kami sudah ditinggal rombongan panitia dan kelompok lain dan kondisi keuangan yang sangat terbatas, yang bisa kami lakukan adalah hitching. Alhamdulillah tidak menunggu lama, ada tumpangan pertama, pick up ke Sekucai. Dari situ, karena kami harus balik ke kec. Batu Brak untuk bertemu pak Maeroni dan mengambil tas kami yang kami titip di rumah pak Kobul, sang pengurus masjid, kami numpang pick up ke 2 ke Kec. Batu Brak.

Batu Brak II
Pak Kobul, sang Penjaga Masjid dan Istri






Akhirnya kami bertemu pak Maeroni, juru kunci Batu Brak asli. Walaupun Batu ini terlihat sangat sederhana tapi banyak kisah mengesankan darinya. Nama batu ini sebenarnya Batu Bergerak namun masyarakat menyingkatnya dengan Batu Brak. Konon katanya, seminggu sebelum ada kejadian besar, batu itu akan bergoncang sangat kuat dan akan berpindah tempat. Inilah yang terjadi ketika Gempa Liwa mengguncang daerah ini tahun 1994 yang menewaskan lebih dari 200 orang. Pak Maeroni bercerita bahwa banyak peneliti dari luar negeri yang datang ke sini karena batu ini tercatat dalam catatan sejarah Belanda. Kabarnya Batu yang berdiameter 2 meter, itu berbentuk seperti tungku, yang di bagian dalamnya terdapat emas berukuran besar. Dahulu Belanda mencoba menariknya, tapi walaupun semua daya dilakukan batu tersebut tidak bergeming. Wallahualam.


 Perjuangan ke Tanjung Setia - Tumpangan demi Tumpangan-


Pick Up Sekucai - Kec. Batu Brak





Tumpangan Liwa-Pertigaan Bengkulu Krui























Setelah pamit, dan mengambil tas di rumah pak Maeroni, kami naik angkot ke terminal Liwa. Hari sudah mulai gelap, dan angkot menuju Krui sudah tidak ada, akhirnya jempol beraksi. Sebuah pick up penuh muatan ikan berhenti. Bagaimana caranya 3 orang dewasa dengan 3 tas segede anak SD, muat di 2 kursi penumpang selebar 1 meter. Setelah dipikir jungkir balik, tas ransel kami taruh di atas muatan. Mafril duduk di samping pak sopir, aku dipangku mbak Nana. Posisi ini berhasil kami pertahankan selama satu setengah jam melewati suramnya jalur lintas Sumatera ditemani dengungan dangdut koplo. 

Sampai di persimpangan Bengkulu- Krui, kami berpisah dengan pak sopir. Baru jalan beberapa langkah, sebuah pick up yang mengangkut puluhan anak-anak berhenti dan memberi kami tumpangan. Di dalam angkutan ini, kami bercengkerama dengan mereka. Ketika kami sodorkan roti coklat, semua anak berebutan, mirip ikan piranha berebut daging segar. Walau secuil itu adalah roti coklat paling nikmat yang pernah aku makan. Sesampainya di pasar malam, kami tolak tawaran pak sopir untuk mengantar ke Tanjung Setia, tapi dengan bayaran 200 ribu. Ketika sedang menunggu tumpangan selanjutnya, ada beberapa ojek yang menghampiri kami dengan tarif yang bermacam-macam Rp. 20.000-60.000. Hari sudah semakin larut, ketika aku dan mbak Nana sudah hampir menyerah pada ojek, tiba – tiba terlihat cahaya dari kegelapan malam.

“Pick Up!!!!!”, teriakku dan aku langsung lari, lempar badan.
“numpang ke tanjung setia, pak.”, kata kami dengan muka putus asa.
“tanjung setianya mana?”, tanyanya galak
“sebentar, Pak,”, Mbak Nana menelepon Ade, si panitia, dan terjawab homestay Kepalas.
“Makanya saya nanya tepatnya dimana. Soalnya rumah saya daerah situ,”

Walaupun galak ternyata beliau baik hati.

Dan jam 10 malam (17/11), perjalanan kami pun diakhiri dengan tertawa bahagia disambut dengan senyum ramah sahabat petualang Blind Travel jilid 2. Walaupun kami tiba paling akhir, alhamdulillah kami bisa menang hadiah paket liburan ke Bali untuk 3 orang. Tapi hadiahnya belum termasuk tiket pesawat. Pertanyaannya sekarang, mau bagaimana nyampe Balinya? Hitching? Hopeless.