Dreamy Backpacker: Februari 2014

07/02/14

Mengecap Lezatnya Pesona Tsukiji

Tak banyak orang tahu bahwa sejak tahun 675 M Kaisar Temmu melarang masyarakat Jepang memakan hasil ternak, anjing, kera dan ayam. Dan dilanjutkan dengan kebijakan yang dipengaruhi ajaran Budha dan Shinto untuk tidak membunuh hewan pada abad delapan dan sembilan. Pada saat itu, selain ikan dan paus, yang dianggap hewan laut, memakan semua daging hewan mamalia adalah hal yang tabu. Oleh karena itu, walaupun sekarang sudah tidak ada lagi aturan itu, kecenderungan makan ikan sudah mendarah daging.
Dan bagaimana mereka mengolahnya pun cukup unik. Berbeda dengan kebanyakan negara lain, salah satu philosofi kuliner negara asal acara Iron Chef ini adalah semakin sedikit proses memasak yang dilalui satu bahan makanan, maka citarasa alaminya akan semakin terasa. Bahkan di negara ini ada peribahasa “Makan mentah terlebih dahulu, kemudian bakar dan rebus sebagai pilihan terakhir.”

Sushi dan Sashimi. Setiap mendengar nama makanan ini, orang pasti langsung mengasosiasikannya dengan kuliner khas Jepang.
Maka tak mengherankan apabila di Tokyo terdapat Tsukiji Fish Market yang dibuka sejak 1935 sebagai pasar ikan terbesar di dunia ini dan mampu menarik pengunjung dari seluruh dunia. Termasuk aku.
Setelah gagal pada hari ke 3 di Tokyo, Aku, Sita dan Bang Eko baru dapat menyambangi Tsukiji Market pada hari Senin (25 Maret 2013). Karena saat itu aku kurang mencari referensi sebelumnya, maka kami tidak tahu kalau setiap hari Rabu, Minggu, dan hari libur, tempat ini tutup.
Seorang polisi yang ramah segera menyambut kami di dekat pintu masuk utama dan membagikan selebaran berukuran kertas A3 yang berisi informasi penting mengenai pasar ini termasuk denah dan aturan dalam 5 bahasa. Jepang, Inggris, Mandarin, Korea dan Rusia. Kemudian dia menunjukkan papan kartun yang mengilustrasikan aturan – aturan untuk pengunjung. Seperti manga. Unik sekali. Yang pertama, jangan menghalangi pekerja yang sedang beraktifitas karena Tsukiji bukanlah tempat wisata, jadi kita tidak bisa berlaku semaunya. Kedua, sebelum jam 09.00, kita tidak boleh masuk ke tempat penjualan ikan dan hanya boleh berkeliaran di pasar luarnya (Uogashi Yokocho). Ketiga, tidak boleh ada grup yang besar, apalagi ada pemandunya. Di papan tergambar seorang pekerja yang tidak bisa lewat hanya karena sekelompok orang membuat barisan panjang mengikuti si guide. Aturan tidak boleh membawa kereta bayi adalah yang ke empat.
Gambar ke lima memperlihatkan akibat apabila memakai sandal sambil berkeliling pasar. Kemalangan pasti menghampiri. Terpeleset, menginjak paku, terlindas gerobak atau tak sengaja tersandung. Bahaya. Oh iya. Orang mabuk tidak boleh masuk pasar ini. Tapi aku masih sangsi, yang ini bisa ditegakkan. Bagaimana bisa menyuruh orang teler menaati aturan ini. Nah untuk yang terakhir, sangat tidak disarankan untuk memegang ikan dan alat - alat yang ada di sana, terutama pisau.
Selebaran
Papan Aturan




















Setelah memahami dan meresapi gambar – gambar itu, berhubung sudah lewat pukul 09.00 lebih kami memulai perjalanan menuju tempat penjualan ikan yang sudah dibuka untuk umum. Selangkah demi selangkah melewati jalan khusus yang diperuntukkan pengunjung.
Mataku terbelalak takjub. Walaupun banyak kios yang sudah tutup dan mulai dibersihkan oleh para penjual tapi masih ada beberapa yang buka. Tapi karena pasar ini luas, “beberapa” itu artinya juga masih banyak. Tak habis dihitung jari tangan 5 orang sekaligus.
Sesama pejalan, aku juga sadar pasti ada rasa keingintahuan yang sangat kuat ketika melihat sesuatu yang menarik. Ingin melihat, memotret bahkan memegang. Tapi kita juga harus sadar bahwa orang – orang yang berkerja di sini menjalankan aktifitas sehari-hari dan berharap tanpa ada gangguan. Kita tidak suka juga kan ketika sedang bekerja tiba – tiba ada turis datang, tanpa ba bi bu langsung mengambil foto kita. Berkunjung ke tempat semacam ini, rasa hormat harus selalu diutamakan.
Dengan hati – hati dan terkadang meminta izin yang empunya kios, aku mengamati beberapa hasil laut yang mungkin baru pertama kali ku lihat sepanjang lebih dari seperempat abad hidupku ini. Ada kerang dan udang yang bermacam – macam bentuknya. Bahkan ada sesuatu yang awalnya ku pikir adalah “itunya” ikan paus karena bentuknya yang panjang. Aku geli melihatnya. Tapi setelah kuselidiki ternyata itu adalah kerang gajah. Tambah penasaran tentang bagaimana cara masaknya. Imajinasiku berkelana entah kemana.


Jangan tanya lagi, ikan apa yang aku jumpai di sini. Banyak macamnya dan aku tidak tahu namanya satu persatu. Pengetahuanku tentang biota laut saat itu terutama nama ikan terbatas pada ikan badut (gara-gara Finding Nemo), ikan duyung (gara – gara Little Mermaid), dan lumba – lumba (gara – gara Bondan Prakoso). Titik.
Tapi ikan yang menjadi bintang di pasar ini adalah Tuna. Tuna yang ditangkap dari seluruh dunia dikirim untuk dilelang di sini. Walaupun hewan laut satu ini jumlahnya sudah dalam taraf membahayakan, para nelayan masih memancing ikan yang satu ini karena tergiur dengan harga jualnya yang sangat tinggi. Bisa mencapai Rp. 700.000 per kilo. Padahal berat rata – rata ikan ini 200 kg. Berarti Rp. 140.000.000. Fyuh. Pelelangan tuna yang diadakan setiap hari setiap pukul 05.25 dan 5.50 adalah kegiatan yang paling disukai para turis. Apabila berminat, para pengunjung diharapkan mendaftar di Osakana Fukyu Center (Pusat Informasi Ikan) di Kachidoki Gate mulai jam 05.00 dan karena keterbatasan ruang dan demi kenyamanan semua pihak, maka jumlahnya dibatasi hanya 120 orang. Sayang sekali karena kendala transportasi, aku tidak dapat melihatnya. Kereta paling pagi adanya jam 05.00, dan dibutuhkan paling tidak 20 menit dari Asakusa ke Tsukiji. Padahal aku penasaran atas nasib tuna gendut yang ditangkap nelayan di perairan Gloucester, Massachusetts pada acara TV Wicked Tuna di National Geographic yang kemungkinan besar dilelang di sini. Setelah pelelangan ini selesai, ikan – ikan raksasa tersebut dipotong menggunakan alat pemotong khusus yang aku lihat mirip dengan mesin pemotong kayu. Kemudian dikirimkan ke pembeli di Jepang maupun di luar negeri.
Uogashi Yokocho
Pusat penjualan ikan telah aku jelajahi habis, saatnya berkeliling di pasar luarnya (Uogashi Yokocho). Di sini terdapat banyak toko – toko yang menjual pisau, hasil laut yang dikeringkan dan restoran Sushi yang berjejer apik.
Aku bukan seseorang yang bisa makan apa saja, tapi ketika di jalan – jalan di satu kota yang memiliki makanan khas, kadang harus memberanikan diri untuk mencobanya. Kali ini Sushi. Sungguh ini adalah pengalaman pertamaku makan sushi. Ketika di Indonesia, setiap ada temanku yang mengajak ke restoran Jepang, pasti aku tolak baik – baik. Otakku selalu berfikir kalau makanan mentah tidak berteman baik dengan lidahku. Tapi restoran sushi di area Tsukiji ini berhasil menarikku masuk. Kupikir di sinilah aku akan merasakan sushi dengan ikan paling segar di dunia. Bagaimana tidak, ikannya langsung dari pasar yang jaraknya hanya sejengkal. Semua restoran penuh dan di luarnya puluhan orang mengantri di bawah rintikan hujan. Di depan restoran terpampang menu dan harganya yang membuat ciut kantong. Satu paket Sushi rata – rata dibandrol 1400 yen. Mahal. 

Setelah 1 jam mengantri, kami berhasil masuk ke salah satu restoran yang paling murah. 1150 yen ‘saja’. Aku memilih duduk persis di bar untuk menyaksikan langsung proses pembuatannya. Karena terkenal di kalangan turis, menunya terdapat arti bahasa Inggrisnya. Awalnya kita mau hanya beli satu paket dan bagi bertiga. Tapi ternyata kita bisa memesannya ala carte alias satuan. Karena masih tak sanggup makan makanan mentah, aku pilih yang serba matang. Hanya dengan 430 yen, sushi dengan topping telur, udang dan kulit ikan yang dibakar tersaji indah. Lezat.
Omong – omong keliling pasar ini sedari tadi terlihat para pekerja mondar – mandir menggunakan kendaraan unik. Bentuknya seperti papan beroda 3 dan di bagian depannya terdapat baterai sebesar drum minyak tanah yang di bagian atasnya terdapat kemudi. Ini merupakan salah satu wujud penghematan energi yang diterapkan di pasar ini. Tapi sayangnya di sudut lain, terutama di dekat pasar luar terdapat bergunung – gunung styrofoam. Semoga saja pengelola mampu mengatasi masalah lingkungan yang disebabkan bahan yang terkenal susah di daur ulang ini. Bukan tidak mungkin tapi sangat sulit. Oleh karena tingkat pencemaran lingkungan akibat kegiatan di pasar ini cukup tinggi, pemerintah Jepang akan memindahkannya ke Toyosu pada musim semi 2016. Alasan lain pemindahannya juga karena pasar yang sekarang ini menempati lokasi yang bernilai tinggi yang dekat dengan pusat kota.