Dreamy Backpacker: Januari 2014

22/01/14

Klik. Dan Tokyo Tower pun Padam.


Hanya dibutuhkan satu tindakan kecil untuk merubah masa depan dunia dalam menghadapi perubahan iklim. Itulah yang mungkin hendak dicapai oleh WWF Australia saat mengadakan kegiatan "Earth Hour" di Sidney pada 31 Maret 2007 pukul 19.30 ketika 2.2 juta penduduk kota ini mematikan lampu selama satu jam. Earth Hour sendiri bukan merupakan latihan untuk mengurangi penggunaan energi tapi lebih pada aksi simbolis untuk menunjukkan komitmen individu, pelaku bisnis dan pemerintah untuk bersama-sama memecahkan masalah lingkungan demi masa depan bumi. Sejak saat itu, kegiatan tersebut dilaksanakan setiap tahun dan pada 2013 lebih dari 7000 kota di 152 negara bergabung di kegiatan ini.

Jepang, salah satu negara ekonomi terkuat di dunia ini, baru berpartisipasi pada tahun 2010. Beruntungnya aku, ketika berkunjung kesana Maret 2013 lalu, ternyata pada tanggal 23 tepat pukul 20.30 WIB Tokyo Tower akan menghelat event ini. Aku pun bertekad untuk menyaksikannya.

Menuju ke Tokyo Tower
Menara yang dibuka sejak 23 Desember 1958 akan memadamkan lampu selama satu jam. Tapi ketika aku sampai di tower ini, semua lampu di bagian luarnya telah dimatikan. Sepertinya aku telah melakukan kesalahan dalam menghitung jarak dan waktu tempuh menuju tempat ini. Yang awalnya kupikir dekat, ternyata jarak dari Stasiun Kamiyacho ke menara yang terletak di 4-2-8 Shiba-koen, Minato, Tokyo 105-0011 ini, lebih dari 800 meter dan seharusnya dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang dari 15 menit. Suhu yang tidak lebih dari kisaran 100 C di Tokyo saat itu cukup dingin bagi kami dibarengi dengan angin yang serasa menusuk tulang terlebih treknya yang mirip bukit memperlambat kami.

Harusnya aku naik Metropolitan Subway Oedo Line dan turun di Akabanebashi Station, keluar di Akabanebashi Gate namun salahku malah naik Tokyo Metro. Tapi kalau aku kesini lagi, pasti aku akan memilih moda transportasi bus. Turun persis di depan Tokyo Tower.  

Kecewa. Kesempatan menyaksikan momen langka itu pupus hanya karena kesalahan sepele.

Padam 
Akhirnya aku hanya duduk – duduk di dalam FootTown sambil menunggu saat-saat dinyalakan lagi lampunya. Gedung 4 lantai ini dinamakan FootTown bukan tanpa alasan. Bangunan ini berada persis di bawah menara dan memiliki fasilitas yang sangat bervariasi. Di lantai satu, kita bisa menikmati Aquarium Gallery, Tower Restaurant yang bisa menampung 400 orang, FamilyMart, dan Toko Oleh-Oleh. Kalau lapar, tinggal naik ke lantai 2 yang terdapat banyak tempat makan. Mulai dari restoran cepat saji sampai restoran bintang 5. Sedangkan Museum Lilin yang dibuka tahun 1970, Museum Guinness World of Records, Galery DeLux dan toko – toko berada di lantai ketiga. Jika tertarik dengan ilusi optik, Trick Art Gallery yang berada di lantai 4 patut disambangi. Aku selalu berfikir orang Jepang sangat pintar dalam memanfaatkan ruang. Buktinya di bagian atap terdapat tempat hiburan, semacam Dufan tapi skalanya lebih kecil. Setiap akhir minggu atau hari libur, pengunjung dapat naik tangga yang menghubungkan atap ini dengan Main Observatory. Tapi kalau hari biasa, dapat menggunakan 3 lift yang ada di lantai satu. Dengan merogoh kocek 820 yen, kita bisa menikmati eloknya pemandangan kota Tokyo dari ketinggian 150 m atau 1420 yen dari Special Observatory dengan ketinggian 250 m. Kalau bagiku tak perlu dipertimbangkan, sudah jelas tidak akan naik. Dengan uang sebesar itu, aku bisa makan hampir 5 kali di Yoshinoya. Memang urusan perut lebih penting.

Kurang 10 menit lagi, Tokyo Tower akan kembali menyala, aku ingin mengabadikannya dengan kameraku. Tapi sedikit bingung harus ambil foto dari mana. Aku dan kedua temanku masih duduk persis di depan counter informasi Tokyo Tower. Yang sedang bertugas malam itu adalah seorang gadis cantik yang berpakaian kuning mirip busana pramugari.

Sumimasen. Where is the best spot to see the tower? I want to take a picture.”, seraya menunjukkan kamera yang mengalung di leherku.

Ehm. Hai. Take a photo. Ehm. You go down then up and down and up.”, jelasnya sambil menunjuk ke arah pintu keluar

Hening. Kami hanya membatu tak mengerti.

Mungkin karena kasihan, dia mengajak kami ke pintu keluar.

Up, down, up, down.” , sekarang gerakan tangannya ke atas dan ke bawah. Lama – lama aku perhatikan mirip gerakan joget John Travolta di Grease.

Kepala kami mengangguk –angguk senantiasa mengikuti gerakan tangan petugas itu. Sepertinya dia mengira kami mengerti dan tiba – tiba dia meninggalkan kami yang sedikitpun tidak paham petunjuknya.

 Ya sudahlah, kami pecahkan sendiri misteri ini.

Ketika jalan menuruni bukit mencari tempat yang pas untuk mengabadikan momen Earth Hour ini, kami terkekeh – kekeh membahas si mbak nya yang notabenenya bekerja di kantor pusat informasi wisatawan tapi hanya bisa bicara Bahasa Inggris “up” and “down” saja.
Dan Dia Bersinar Lagi

Di depan menara ini terdapat jalan turun menuju jalan utama. Di samping kanan dan kiri terdapat jalur untuk pejalan kaki selebar 1 meter dan hanya dibatasi dengan seutas tali. Aku harus mengabadikan event ini apapun yang terjadi. Sesekali aku melewati pembatas itu untuk memotret, sesuatu hal yang tidak patut ditiru. Untung saja tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Tidak seperti negara lainnya, yang gegap gempita mengadakan Earth Hour, di Tokyo, terutama Tokyo Tower hampir tidak ada yang menonjol. Tidak ada satu tanda pun yang memperlihatkan bahwa sesuatu yang penting sedang terjadi.

21.30. Baris demi baris lampu yang berada di menara ini mulai menyala. Tidak terlalu terang tapi cukup untuk menyatakan bahwa Earth Hour telah selesai.




Di tengah perjalanan, ada hal yang menarik perhatianku. Di depan sebuah rumah besar, yang kelihatannya berkonsep tradisional namun elegan, sedang diparkirkan 4 buah mobil mewah dengan sopir yang berjas necis berdiri di samping pintu penumpang. Rumah itu dikelilingi oleh tembok  dengan pintu kayu di depannya. Setelah beberapa lama mengamati bagai detektif, terlihat seorang wanita rupawan berpakaian sederhana namun terkesan sangat kaya. Dia hanya berdiri di dekat pintu seperti menunggu seseorang. Tak berapa lama seseorang paruh baya, dari pembawaan diri dan pakaiannya kurasa sangat penting posisinya, keluar dengan beberapa pengawal. Seperti masuk ke adegan film. Takut dipikir mata – mata atau orang aneh, kami bergegas pulang.

Ketika sampai di perempatan, aku melihat sekumpulan orang di seberang jalan membidikkan kamera ke arahku. Mulai dari  telepon genggam sampai kamera dengan lensa super. Hampir saja aku ge-er, Ketika aku menengok ke belakang, ternyata mereka sedang memotret keindahan Tokyo Tower yang telah menyala sempurna.

Berkerumun mengabadikan Sakura dengan background Tokyo Tower 




Aura Romantis di dekat Tokyo Tower

Catatan perjalananku lainnya selama di Jepang
Rincian Biaya 12 Hari Pertualanganku Di Jepang
Tokyo Dulu Dan Kini Melebur Di Asakusa
Cantiknya si Merah Jambu Ueno-Koen         
Bawa Aku Kemana Saja, Doraemon   
Bermain Siasat Dengan Transportasi di Tokyo                                                    

15/01/14

Bawa Aku Kemana Saja, Doraemon!























Bagi seseorang yang masa kecilnya di tahun 90an sepertiku, robot kucing berwarna biru putih yang  mempunyai semua alat canggih di kantong ajaib untuk memecahkan semua masalah yang dimiliki Nobita adalah idaman terbesarku. Jam 8 tepat setiap hari Minggu, Doraemon, membuatku terus terpaku selama setengah jam. Mulut menganga, semangat membuncah. Segalanya itu mungkin, walaupun sepertinya mustahil tapi itu mungkin. Itulah esensi dari sebuah mimpi. Sesuatu yang terlihat tidak teraih, tapi dengan kerja keras pasti akan tercapai.


Walaupun sekarang aku bertambah usia dan tidak bisa dibilang muda lagi, tapi setiap aku melihat Doraemon, aku merasa menjadi anak kecil lagi dengan imajinasi dan impian yang menjulang tinggi. Dia menemaniku meniti jalan menuju mimpiku, maka ketika terwujud, menjadi suatu yang wajib kurasa untuk mengunjungi tempat kelahirannya. Museum Fujico F. Fujio.

Doraemon sendiri adalah karakter manga yang diciptakan oleh Fujico F. Fujio pada tahun 1973. Museum yang terletak di 2 Chome 8-1 Nagao Tama-ku, Kawasaki City, Perfektur Kanagawa 214-0023 ini dibangun atas inisiatif sang istri. Beliau ingin mempersembahkannya untuk anak-anak di dunia yang selama ini selalu mendukung karya suaminya. Berhubung karyanya yang sangat terkenal adalah Doraemon, museum ini lebih sering dikenal dengan Museum Doraemon.

Sebenarnya harga tiket masuknya tidak terlalu mahal, hanya 1000 yen untuk dewasa dan 500 yen untuk anak-anak, namun kita tidak bisa langsung membelinya di sini. Pemesanan tiket museum ini harus dilakukan lewat Lawson, salah satu jaringan mini market terbesar di negara matahari terbit. Hampir di semua sudut kota besar di Jepang, Lawson gagah berdiri.

Karena takut kehabisan tiket, setibanya di Tokyo, aku langsung menuju salah satu cabangnya di Asakusa. Museum yang baru dibuka pada 3 September 2011 ini sangat banyak pengunjungnya, dan untuk hari Sabtu Minggu biasanya tiket terjual habis.

Sebenarnya agak menjadi tantangan tersendiri untuk membelinya. Karena pembeliannya menggunakan Loppi, semacam mesin penjualan tiket yang sayangnya hanya menggunakan bahasa Jepang, aku harus minta bantuan penjaga toko. Namun, sayangnya dia, seperti mesin itu, monolingual. Dan saat-saat inilah, kemampuan bahasa Tarzanku diuji.

"We want to buy ticket for Doraemon Museum"
"Ehm? Doraemon", entah kenapa wajahnya cukup bingung.
"Fujico F. Fujio desu.", sautku
"Oh, hai"
Dia langsung membawaku ke depan mesin pembelian tiket.

Tiket Museum
Setengah jam lebih berkutat di depan loppi, percakapan yang didominasi kata "Hai", "Ok", "No", "Sorry", gerakan manggut-manggut dan geleng-geleng, akhirnya membuahkan hasil. 3 tiket untuk aku, Sita dan Bang Eko untuk tanggal 25 Maret 2013 pukul 16.00 sudah aman digenggaman. Perlu diketahui untuk kenyamanan pengunjung, dalam satu hari dibagi 4 gelombang, yaitu 10.00; 12.00; 14.00;  16.00 dan diharapkan datang paling lambat setengah jam sebelum jam yang tertera di tiket.

Sopir bus yang ceria
Tidak seperti proses pemesenan tiket yang agak rumit untukku, perjalanan menuju kesana sangat mudah. Easy. Simple. Kantan ni. Cukup naik kereta Odakyu line dari Stasiun Odawara, turun di Stasiun Noborito lalu diteruskan dengan naik shuttle bus  yang akan membawa kita persis di depan museum. Oh iya, kita juga bisa berjalan kaki menuju stasiun sambil menikmati indahnya "kampung" Nobita yang hampir persis seperti yang ada di manga. Jika pilih yang ini, maka stasiun pemberhentiannya adalah Mukougaoka Yuen. Dari sini, hanya dibutuhkan 16 menit berjalan kaki. Karena sudah sangat terlambat, kami memilih naik bus dengan membayar 200 yen. Tapi jangan coba - coba naik mobil, karena tidak ada tempat parkir.

30 menit sebelum pintu dibuka, pengunjung sudah mengular panjang. Kalau diperhatikan sangat jarang orang dewasa yang datang, kecuali menemani anaknya. Dari satu antrian ini, aku merasa kami bertiga terlihat begitu menonjol. Akhirnya, setelah menunggu beberapa lama, kami masuk museum impian ini.

Lagi-lagi demi kenyamanan, setiap pengunjung dibekali Pemandu Audio dan earphone. Ada 2 bahasa tersedia, Inggris dan Jepang. Kalau berharap versi ada bahasa Indonesia, siap-siap lah kecewa. Tour Museum ini dimulai dengan sebuah ruangan yang berisi karya-karya Fujico F. Fujio. Lembar - lembar karyanya dipajang di kotak kaca yang dinomori. Untuk informasi tentang karya tersebut, kita harus menekan tombol angka di Pemandu Audio sesuai nomor yang tertera. Sayangnya ada beberapa karya yang tidak ada informasinya. Walaupun sebagian besar adalah tentang Doraemon, namun karya yang lain seperti Perman, Mojacko, Ume Boshi Denka dan Esper Mami juga ada.

Masih di lantai yang sama, setelah ruang itu terdapat lorong yang membawa kita masuk ke kehidupan sang mangaka yang bernama asli Fujimoto Hiroshi ini. Di sebelah kiri terdapat kamera yang biasa digunakan oleh Fujico F. Fujio dan di sebelah kanan terdapat replika ruang kerjanya yang dibuat sama persis aslinya. Terharu. Di sinilah dia melahirkan karya yang menginspirasi ribuan bahkan jutaan anak-anak yang mengidamkan Doraemon. Sebuah karya yang ku yakin tak akan lekang dimakan waktu.

Setelah lorong itu, sampailah kami ke area hiburan yang meliputi permainan-permainan bertemakan Doraemon dan teman-temannya. Walaupun ingin sekali mencobanya, aku tidak berminat bersaing dengan anak-anak TK yang terlihat antusias memainkannya. Aku pilih manga reading room saja. Setelah berlagak baca manga Doraemon, yang sedikit aku tak mengerti karena dalam bahasa Jepang, hanya demi sebuah keeksisan dalam foto, aku beranjak ke theater. Di sini kita bisa menyaksikan film yang hanya dapat dilihat di museum ini. Setelah petugas mengatur agar anak-anak duduk paling depan, film dimulai. Jujur saja, karena tidak ada terjemahannya aku kurang paham dengan filmnya. Bahkan sampai detik ini, aku tidak ingat jalan ceritanya.

Di lantai paling bawah terdapat tempat yang paling diminati. Toko souvenir. Segala benda yang berkaitan dengan Doraemon ada di sini. Mulai dari map yang hanya 300 yen sampai patung Doraemon yang harganya lebih dari 10.000 yen. Penggila robot kucing yang dinobatkan sebagai duta besar anime oleh pemerintah Jepang pada Maret 2008 ini sebaiknya membeli pernak - perniknya di sini. Karena ketika aku obok - obok 2 pusat otaku di Jepang, Akihabara Tokyo dan Den Den Town Osaka, nyaris aku tidak dapat menemukan Doraemon.

Ketika saatnya makan tiba, kami beranjak ke lantai 3 di mana kafe berada. Tapi apalah daya, karena sudah terlalu sore kafe sudah tutup dan kami diarahkan untuk makan di tempat makan di sebelahnya yang lebih mirip dengan restoran cepat saji. Hanya saja menunya bukan ayam goreng melainkan Dorayaki, makanan favorit Doraemon, dan Anki Pan, roti untuk menghafal. Harganya memang tidak terlalu mahal namun sungguh tidak mengenyangkan.
Walaupun begitu, kami masih bersemangat berfoto-foto di taman di depan restoran ini. Dinosaurus, pintu ajaib, dan beton bertumpuk tiga di taman rasanya seperti berada dalam dunia Doraemon. Di sinilah pengunjung paling puas mengambil gambar karena di ruang pamer tidak diperkenankan.
Dengan bus yang sama, aku mengucap Sayounara dan membawa semangat Doraemon langsung dari kampung halamannya. 
   

                                                       

Catatan perjalananku lainnya tentang Jepang :    
Rincian Biaya 12 Hari Pertualanganku Di Jepang
Tokyo Dulu Dan Kini Melebur Di Asakusa
Cantiknya si Merah Jambu Ueno-Koen 
Klik. Dan Tokyo Tower pun Padam.     
Bermain Siasat Dengan Transportasi di Tokyo   
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 

03/01/14

Cantiknya si Merah Jambu Ueno-Koen



Dan merekapun berguguran

Ueno-koen atau taman Ueno, terletak di distrik Ueno, Taito, merupakan salah satu tujuan wisata terfavorit di Tokyo apalagi pada musim semi ketika Sakura bermekaran seperti saat ini. Taman yang diresmikan pada tahun 1873 ini seluas 80 kali luas lapangan sepakbola dan merupakan rumah bagi puluhan monumen, museum, kuil dan bahkan sebuah kebun binatang. Membayangkan menyusurinya saja, kakiku sudah bergetar. Kali ini aku hanya ingin menikmatinya, tanpa target untuk mengunjunginya satu persatu. Cukup Sakura. Bagiku yang kantongnya teramat sangat cekak, Taman Ueno sendiri adalah surga. Untuk menikmati keindahan bunga nasional Jepang ini aku hampir tidak perlu mengeluarkan yen sama sekali. Gratis tis tis.