“Bagiku
hadiah terbesar adalah pengalaman, pandangan baru bahwa tujuan memang penting,
tapi perjalanan menuju ke sana dan orang – orang yang ditemui selama perjalanan
itu lebih penting, serta sahabat perjalanan yang tahan banting.”
Sudah pukul 10.00 malam, hampir seluruh peserta sudah
berada di Pintu Utara Stasiun Gambir, meeting point pertama Event Blind Travel
Jilid 2 yang diadakan oleh Kaskus Backpacker Community Jabodetabek. Inti dari
event ini adalah menantang para peserta untuk mencapai destinasi tertentu
dengan uang yang sangat sangat terbatas, dan kemudian mengenalkan atau
menceritakan kembali destinasi tersebut kepada dunia. Bagiku event ini juga
membuatku lebih mengenal jati diriku sebagai pejalan,
mengenal budaya lokal dan menghargai setiap kebaikan sekecil apapun itu.
Mbah Google “melawan” Kompas Bacot
Peserta dibagi menjadi 6 tim yang terdiri dari 3 orang. Mafril, aku dan Nana yang notabene adalah manusia asing satu sama lain yang
disatukan dalam kelompok 4. Setelah semua tim terbentuk, panitia mengumumkan
bahwa meeting point kedua adalah lapangan Seburai yang kita tidak tahu itu
di mana. Panitia hanya membekali kami Rp.60.000per tim. Dengan semangat menggebu
- gebu, kami mencari di mesin pencari paling canggih, google, dan saat inilah
kita secara tidak sadar dikhianati habis oleh tehnologi. Hasil pencarian adalah
"lapangan seburai, kota bumi, Lampung". Berbekal uang yang sangat
terbatas, beranjaklah kami ke Kota Bumi. Pilihan satu-satunya untuk bisa sampai
ke Lampung adalah dengan menumpang atau istilah kerennya Hitchhiking
(hitching).
Tumpangan pertama dimulai dari Harmoni, kami mencegat mobil pick up yang
ternyata masih baru dan cara numpangnya pun mirip masuk masjid. Copot alas
kaki. Maklum mobil ini benar-benar baru, dan akan diantar ke Bengkulu. Dari
Harmoni sampai Balaraja, kami dan satu kelompok lain yang bersama kami berusaha
keras menyembunyikan diri kami di mobil pick up agar tidak terlihat polisi saat
melewati jalan tol. Soalnya apabila polisi melihat kami, maka si sopir akan
ditilang. Sesampai di Balajara, hitching berganti truk dengan sopir pak Yadi. Walaupun beliau menuju Bengkulu, beliau hanya dapat mengantar kami sampai
SPBU Merak karena harus menunggu rombongannya. Setelah beristirahat sebentar,
kami melanjutkan perjalanan ke Bakauheni dengan jalan kaki sepanjang 5-6 KM.
Sesampainya di Merak, di atas kapal kami atur strategi dan mulai menanyai satu per satu sopir di dek bawah. Hasil nol.
Akhirnya kami berusaha mencari tumpangan di luar pelabuhan Bakauheni dengan
Mbak Nana membawa tulisan "Kota Bumi", Mafril "nebeng" dan
aku menunjukkan jempolku. Di luar pelabuhan, saat kami hampir pingsan menunggu
tumpangan, tiba -tiba tak disangka, sebuah truk raksasa berhenti.
"Bapak kok baik banget?", kataku
"saya pernah ngrasain kayak mbak, orang perantauan", katanya
penuh senyum. “memang mau kemana?”, tanyanya
“Saburai, Kota Bumi pak.”, jawab kami kompak, semangat.
“Setahu saya Saburai itu ada di Bandar Lampung, soalnya dekat dengan rumah
saya.”
Eh.
Pak Kamil bersama kelompok Jawa |
Di sinilah kami baru tahu kalau
kami ditipu habis-habisan oleh tehnologi. Entah aku carinya kurang benar atau
mbah Google sudah mulai pikun. Kertas tulisan “Kota Bumi”,
pelan-pelan kami taruh di dasar tas kami. Bikin malu saja.
Setelah itu aku dan mbak Nana bercerita bahwa saat di kapal, kami ngidam es teh tapi tidak jadi beli karena
terlalu mahal. Sekotak teh dibandrol Rp. 10.000. Entah karena kasihan atau apa,
pak Kamil langsung mengajak kami ke
pom Bensin dan mentraktir kami es teh. Memang sederhana, tapi ini membuat kami
terharu luar biasa.
Akhirnya kelompok 4 bisa sampai GOR Saburai pukul 01.00 siang hari kamis
(15/10). Tanpa basa basi panitia langsung menyodori kertas undian yang berisi
destinasi kami selanjutnya, yaitu Situs Batu Brak dan Batu Jagur dan kami harus
sudah berada di Meeting Point ke tiga yaitu Terminal Liwa pada pukul 12.00
siang keesokan harinya. Setelah ambil nafas sebentar, dan mulai mencari di
Google, walaupun sangat terbatas, terdapat info bahwa situs itu ada di Lampung
Barat. Dengan bekal yang cukup besar (Rp.240.000 per tim), kami beranjak.
Bus Bandar Lampung - Krui |
Tinggal disholatin aja sepertinya |
Batu Brak vs Batu Berak
Jam 9 kami bersiap menuju ke Situs Batu Brak. Lokasi Batu Brak ini berada
di belakang rumah Bapak Maeroni, sang pemuka adat di sini. Kami cukup terkejut
karena bentuk Batu Brak ini berbeda dengan yang kami lihat kemarin di mbah
google. Berdasar informasi anak pak Maeroni, ternyata ada 2 Batu Brak, dan yang
sedang kami lihat itu yang asli dan yang satu lagi berada di Kecamatan Sumber
Jaya. Berhubung Pak Maeroni tidak ada di tempat dan rasa tanggung jawab untuk
menyelesaikan menyelesaikan tantangan, kami berangkat ke situs Batu Brak ke dua
yang jaraknya 2 jam perjalanan dan berjanji untuk datang kembali ke lokasi
pertama untuk berbincang-bincang dengan pak Maeroni. Kami sadar dengan
mendatangi 2 lokasi tersebut, kami tidak akan sampai di meeting point tiga
tepat waktu dan akan ditinggal rombongan,
tapi niat kami sudah bulat.
Kali ini kami naik angkot sampai kecamatan Sekicau, dan nyambung naik bus. Kebetulan baru ada bus ngetem dan si sopir dengan
sigapnya meyakinkan kami untuk naik dan berkata bahwa bis akan segera
berangkat. Kami naik bus itu dengan langkah pasti, si sopir masih terlihat
duduk di luar. Menit demi menit berlalu, kami tertidur. Setelah setengah jam
lebih, aku terbangun dan melihat ke jendela. Aku syok ketika melihat si sopir
masih berada di tempat yang sama. Kebetulan ada bus lain yang lewat, alhasil
kami pindah bus tanpa pamit. Berarti selama setengah jam, kami numpang tidur di
bus ngetem.
Penanda Jalan Menuju Situs |
Tiba di batu Berak. Pak Ojek dibayar pakai receh |
Full team |
Sesampainya di Simpang Tebu, Kec. Sumber Jaya, pilihan satu-satunya adalah naik ojek. Dengan bekal cerita sedih, kami bisa membujuk rayu dan hanya bayar Rp. 15.000 per orang. Lokasi Batu Brak cukup jauh masuk ke pemukiman. Ternyata walaupun pengucapannya Batu Brak tapi tertulis di plangnya adalah BATU BERAK. Kurang tau juga yang salah siapa, panitia atau pemerintah. Situs ini cukup terawat namun sayang kurang informasi dan tidak ada juru kunci.
Lanjut ke lokasi ke 2 yaitu Batu Jagur yang kata orang letaknya masih berdekatan, hanya 0.5 KM dan karena kami ingin menghemat biaya, kami memutuskan jalan kaki. Ketika kami jalan, kami papasan dengan anak-anak yang sedang asyik memasukkan tanah media tanaman ke plastik.
“ke Batu Jagur. Lewat sini kan?, kata kami penuh senyum
“HAH? BATU JAGUR? JALAN KAKI?”, sahut mereka bermuka sinis. Setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak.
“HAH? BATU JAGUR? JALAN KAKI?”, sahut mereka bermuka sinis. Setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak.
Waduh bau-baunya lokasinya jauh. Dan memang benar, jarak Batu Brak ke Batu Jagur ternyata lebih dari 2
KM. Terlebih lagi yang menyayat hati, sesampainya di situs
ini, ternyata pagarnya digembok. Ya Allah, cobaan apa lagi
ini. Setelah ambil foto sebentar, kami hubungi ojek yang tadi untuk menjemput
kami.
Hal yang kami pelajari dari kedua situs ini adalah keduanya merupakan peninggalan Dinasti Tsung, sebuah
kerajaan di negeri China yang berkuasa lebih kurang 2.500 tahun yang silam
(zaman megalitik). Namun ada yang cukup disayangkan yaitu kurangnya informasi
mengenai asal usul batu ini dan juga penyalahgunaan kedua situs ini. Pak ojek
kami berkata bahwa kebanyakan pengunjung yang datang kemari biasanya adalah muda-mudi
yang asyik pacaran. Yang lebih mengejutkan adalah alih fungsi situs Batu Jagur
sebagai kebun kopi. Istilah It takes two to Tango benar adanya. Masyarakat dan
pemerintah seharusnya bersama-sama memberi perhatian pada tempat yang
bersejarah semacam situs ini.
Kembali
ke perjalanan pulang kami. Setelah sampai di Simpang
Gadis, karena kami sudah ditinggal rombongan panitia dan kelompok lain dan
kondisi keuangan yang sangat terbatas, yang bisa kami lakukan adalah hitching.
Alhamdulillah tidak menunggu lama, ada tumpangan pertama, pick up ke Sekucai.
Dari situ, karena kami harus balik ke kec. Batu Brak untuk bertemu pak Maeroni
dan mengambil tas kami yang kami titip di rumah pak Kobul, sang pengurus
masjid, kami numpang pick up ke 2 ke Kec. Batu Brak.
Batu Brak II |
Pak Kobul, sang Penjaga Masjid dan Istri |
Akhirnya kami bertemu pak Maeroni, juru kunci Batu Brak asli. Walaupun Batu ini terlihat sangat sederhana tapi banyak kisah mengesankan darinya. Nama batu ini sebenarnya Batu Bergerak namun masyarakat menyingkatnya dengan Batu Brak. Konon katanya, seminggu sebelum ada kejadian besar, batu itu akan bergoncang sangat kuat dan akan berpindah tempat. Inilah yang terjadi ketika Gempa Liwa mengguncang daerah ini tahun 1994 yang menewaskan lebih dari 200 orang. Pak Maeroni bercerita bahwa banyak peneliti dari luar negeri yang datang ke sini karena batu ini tercatat dalam catatan sejarah Belanda. Kabarnya Batu yang berdiameter 2 meter, itu berbentuk seperti tungku, yang di bagian dalamnya terdapat emas berukuran besar. Dahulu Belanda mencoba menariknya, tapi walaupun semua daya dilakukan batu tersebut tidak bergeming. Wallahualam.
Perjuangan ke Tanjung Setia - Tumpangan demi Tumpangan-
Setelah pamit, dan mengambil tas di rumah pak Maeroni, kami naik angkot ke terminal Liwa. Hari sudah mulai gelap, dan angkot menuju Krui sudah tidak ada, akhirnya jempol beraksi. Sebuah pick up penuh muatan ikan berhenti. Bagaimana caranya 3 orang dewasa dengan 3 tas segede anak SD, muat di 2 kursi penumpang selebar 1 meter. Setelah dipikir jungkir balik, tas ransel kami taruh di atas muatan. Mafril duduk di samping pak sopir, aku dipangku mbak Nana. Posisi ini berhasil kami pertahankan selama satu setengah jam melewati suramnya jalur lintas Sumatera ditemani dengungan dangdut koplo.
Sampai di persimpangan
Bengkulu- Krui, kami berpisah dengan pak sopir. Baru jalan beberapa langkah,
sebuah pick up yang mengangkut puluhan anak-anak berhenti dan memberi kami
tumpangan. Di dalam angkutan ini, kami bercengkerama dengan mereka. Ketika kami
sodorkan roti coklat, semua anak berebutan, mirip ikan piranha berebut daging segar.
Walau secuil itu adalah roti coklat paling nikmat yang pernah aku makan.
Sesampainya di pasar malam, kami tolak tawaran pak sopir untuk mengantar ke Tanjung
Setia, tapi dengan bayaran 200 ribu. Ketika sedang menunggu tumpangan
selanjutnya, ada beberapa ojek yang menghampiri kami dengan tarif yang
bermacam-macam Rp. 20.000-60.000. Hari sudah semakin larut, ketika aku dan mbak
Nana sudah hampir menyerah pada ojek, tiba – tiba terlihat cahaya dari
kegelapan malam.
“Pick Up!!!!!”, teriakku dan aku langsung lari, lempar badan.
“numpang ke tanjung setia, pak.”, kata kami dengan muka putus asa.
“tanjung setianya mana?”, tanyanya galak
“sebentar, Pak,”, Mbak Nana menelepon Ade, si panitia, dan terjawab
homestay Kepalas.
“Makanya saya nanya tepatnya dimana. Soalnya rumah saya daerah situ,”
Walaupun galak ternyata beliau baik hati.
Dan jam 10 malam (17/11),
perjalanan kami pun diakhiri dengan tertawa bahagia disambut dengan senyum
ramah sahabat petualang Blind Travel jilid 2. Walaupun kami tiba paling akhir, alhamdulillah kami bisa menang hadiah paket liburan ke Bali untuk 3 orang.
Tapi hadiahnya belum termasuk tiket pesawat. Pertanyaannya sekarang, mau
bagaimana nyampe Balinya? Hitching? Hopeless.
nice share kak arum :)
BalasHapusterima kasih nurul :) Salam kenal
BalasHapuskeren nih, mau ikutan degh, kapan ada lagi yah
BalasHapusNah, aku juga pengen ikut lagi sebagai peserta aja. Denger - denger dari beberapa sumber yang sangat terpercaya sih mau diadain tahun depan di luar jawa.. tunggu aja tanggal mainnya ya... Follow my twitter kalau ada update, akan aku kicaukan.. :)
HapusTerima kasih corat coretnya kak.....!!! Saya juga suka jalan2 modal nekat kaya gitu... Ehehehe kalo nanti mau jalan2 lgi tolong dong ajak aku nih no Hp aku:087774771171
BalasHapuskakak! es teh es teh, *aku gak ikot Kak, sumbangin bekal buat jajan es teh aja yaa Kak! #kaburakh
BalasHapus